Makalah Sejarah Perkembangan Patuntung
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar,
Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan
leluhur dan mereka menyebutnya Tana Toa. Dalam
adat istiadat masyarakat Konjo/Kajang terdapat ajaran mengenai bagaimana
menjaga lingkungan dan berperilaku sederhana yang tertuang dalam ajaran yang
mereka sebut Patuntung, sebuah keyakinan hidup suku Konjo/Kajang.
Patuntung, secara bahasa, dapat diartikan sebagai
penuntun atau tuntunan. Penuntun untuk mencari “sumber kebenaran” bagi
masyarakat Konjo/Kajang. Dalam ajaran ini
masyarakat Konjo/Kajang mesti berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Panuntung
juga adalah ajaran yang mengharuskan masyarakat Konjo/Kajang menghormati nenek
moyang mereka. Setiap tahun selalu ada upacara untuk menghormati mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Asal Usul Patuntung ?
2. Apa
Pokok ajaran Patuntung ?
3. Bagaimana
perkembangan Patuntung ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Asal Usul Patuntung.
2. Untuk
Mengetahui Pokok ajaran Patuntung.
3. Untuk
Mengetahui Perkembangan Patuntung.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal usul Patuntung
Patuntung berasal dari
kata Pa danTuntung. Pa adalah awalan yang berarti
pengganti orang dan Tuntung artinya ujung. Jadi berarti Patuntung di
sini ialah orang yang mencari Ujung. Maksudnya segala sesuatunya supaya dicari
atau diselesaikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ataukah
mencari ujung pangkal suatu persoalan untuk mendapatkan penyelesaiannya sesuai
dengan aturan yang telah disepakati secara turun temurun dalam hal ini
adalah Pasang.
Adapun pengertian yang kedua adalah Tuntung yang
mendapat akhira I menjadi Tuntungi yang artinya selidiki atau usahakan.
Pengertian Tuntungi di sini ialah berusaha mendapatkan sesuatu
hal yang berfaedah untuk kehidupan. Kalau hal ini kemudian dihubungkan dengan
Patuntung ialah berusaha mencari kebenaran, sebab kebenaran itu harus
selalu ada pada masyarakat. Dalam arti kata seseorang tidak boleh diperlakukan
secara semena-mena oleh pemimpin atau siapapun baik kapasitasnya sebagai
pemimpin ataupun orang yang dipimpin, kalau hal itu jelas jelas bertentangan
dengan Pasang. Artinya bahwa Patuntung itu
menggambarkan kepada ketentuan ketentuan masyarakat atau pedoman hidup
masyarakat dalam bertingkah laku demi terwujunya harmoni dalam kehidupan.
Ajaran Patuntung mengajarkan jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran
tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu
menghormati Tuhan dan Nenek moyang (Turiek Akrakna). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling
mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu,
Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
Turiek
Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentukpasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia
pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang
pesan. Pasang adalah
keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang
berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang
mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh
masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk
yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki Yang artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh
lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh.
Agar
pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan
melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang
memerantarai antara Turiek Akrakna dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat
Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang
meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi
tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat
ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di
muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti
perintah Turek Akrakna atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi
dengan menunggangi seekor burung Kajang atau burung gagak yang menjadi cikal
bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi.
Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang
Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima
sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka
mendirikan sebuah desa yang disebut sebagaiTanatoa atau tanah tertua. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai Ammatoa(pemimpin tertinggi Suku
Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya.
Kini,
ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai
nama komunitas mereka.
Adapun
beberapa mitos tentang manusia pertama, yaitu:
1. Mitos
pertama menyebutkan TuriE A’Ra’Na memerintahkan kepada batara gurru untuk
melihat keadaan, setelah kembali melaporkan nahwa perlu ada manusia diatas
bumi, atas kehendak TuriE A’Ra’Na maka
diturunkanlah to manurung kebumi dengan mengendarai seekor burung berkepala dua
ang disebut koajang, inilah yang menjadi asal mula nama kajang.
2. Mitos
kedua menyebutkan kajang berasal dari kata kajang bulaeng (atap perahu emas)
yang diibawah oleh datuk Manila dari luwu. Datuk menila kemudian dinikahi oleh
Galla Puto dengan sunrang (mas kawin) berupa tanah, tanah tersebut terletak
didaerah Gallarag Puto, disebelah timur maccini dipesisir timur desa Posi
Tanah.
3. Menyebutkan
Ammatoa sebagai menusia pertama dikisahkan sebagai tao mariolo atau orang
pertama turun ditanah mula-mula yaitu didesa tanah toa sekarang. Tao mariolo
ini dibawah oleh seekor burung besar pada sebuah puncak bukit yang terbentuk
seperti tempururng atau tombolo’. Bukit ini dikelilingi oleh air dan pada bukit
tersebut hidup seekor burung besar yang disebut koajang.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat Tana Toa,
maka Ammatowa merasa perlu pembantu pembantu untuk bersama
sama dalam mengatur dan mengelola tata kehidupan masyarakatnya baik dari segi
kepercayaan, sosial, adat istiadat dan hubungan kekeluargaan, pertanian dan
sebagainya. Maka Ammatowa yang pertama pada saat itu yang
mempunyai lima orang anak masing masing diberinya tugas. Sehingga inilah
dianggap sebagai pemerintah yang pertama di Tana Toa.
Tentang Ammatowa yang pertama ini
dianggap Tumanurung, artinya diturunkan oleh TuriE Ara’na. Demikianlah
keyakinan masyarakat Tana Toa tentang Ammatowa, bahkan selanjutnya
disebt bahwa Ammatowa itu adalah Satuli tulinai
linoa artinya bahwa Ammatowaitu ada sejak bumi ini
diciptakan bahkan akan tetap ada sampai bumi ini dimusnahkan olehTuriE
Ara’na. Anaknya yang pertama diberi gelar Galla Pantama. Ia
disebut demikian karena tempat daerahnya bernama Pantama. Tentang sebutan Galla ini
ada yang menafsirkan berasal dari kata Gala yang artinya
menghalang. Anak kedua disebutnya Galla Puto, anak
ketiga Galla Kajang, Anak keempat disebutnya Galla
Lombok dan anak kelima disebutnya Galla Anjuru. Demikianlah untuk pertama kalinya Ammatowa membentuk
pembantu-pembantunya untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, dan Ammatowa sebagai
penguasa tertinggi.
B. Pokok Ajaran
Tuhan atau
yang disebut sebagai Turie’
A’ra’na menurunkan perintah
atau wahyunya kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam
kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah
sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku
Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka
menurunkan pasang itu secara lisan dari generasi ke
generasi.
Adapun inti
dari Pasang itu ialah
1.
Anre nakkulle nialle tawwa Atuya ( tidak
boleh mengganggu kepercayaan orang lain )
2.
Anre nakkulle abbura bura, allukka na botoro ( tidak
boleh berbohong, menipu, mencuri dan berjudi ).
3.
Anre nakkulle ammuno paranta tau ( tidak boleh
membunuh orang lain, kecuali terpaksa untuk membela harga diri ).
4.
Parallui sa’bara ( harus
sabar ).
5.
Parallui tuna ( harus sopan dan rendah hati ).
6.
Parallui nihargai paranta rupa tau ( harus
saling menghargai sesama manusia ).
7.
Parallui atunru tunru na nibantu paranta rupatau ( harus
patuh dan rela membantu sesama manusia ).
8.
Parallui ni hargai paraturanna karaengnga, ada, na
Ammatowa ( patuh kepada pemerintah, adat dan Ammatowa ).
Pappasang inilah yang
mereka harus ikuti dan tunduk kepada pasang. Mereka yakin bahwa
melanggar pasang akan berakibat buruk kepada pribadinya atau
anggota keluargnya bahkan masyarakat seluruhnya.
Ajaran
utama dari Patuntung mengajarkan bagi manusia yang ingin mendapatakan “sumber
kebenaran” atau sumber wahyu, maka manusia itu harus menyandarkan diri kepada
tiga pilar utama yaitu: hormat kepada Turiek Akrakna (Tuhan, Sang Penguasa),
menjaga tanah yang telah diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan
secara umum) dan juga menghormati nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa). Mempercayai
kepada Turiek Akrakna adalah hal yang paling mendasar dan
penting dalam agama
Patuntung. Msyarakat Konjo/Kajang meyakini bahwa Turiek Akrakna itu
Maha Mengetahui, Maha Perkasa, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Kini, ajaran
tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan nama
burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka.
Dari situlah kita
bisa tahu kenapa Orang suku Kajang selalu berpakaian hitam seperti warna bulu
burung gagak yang hitam. Hanya bahwa warna hitam yang mereka pakai sebagai
simbol kegelapan dan ketenangan, bahwa manusia berasal dari gelap dan akan
kembali ke gelap.
C. Perkembangan Patuntung
Dalam
perkembangan Agama Islam di daerah Sulawesi Selatan maka daerah Kajang yang
salah satunya sudah mengenal Islam. Dato Tiro salah seorang penyebar Agama
Islam di Sulawesi Selatan pernah singgah di Kajang, kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Tiro dan akhirnya menetap di daerah ini . Tetapi dalam
perkembangan Agama Islam di Kajang setelah Dato Tiro sudah menetap di Tiro, Ammatowa mengirim
seorang utusan yang dianggap cerdas bernama Janggo to Jarre. Ia berangkat ke
Luwu untuk mempelajari agama Islam. Setelah ia pulang ia membawa ajaran-ajaran
Islam yang telah dipelajarinya tetapi masih terbatas pada masalah berikut:
1.
Kattere artinya potong rambut yang bermaksud
sebagai pertanda penedewasaan seseorang.
2.
Kallong Tedong yaitu tentang cara penyembelihan
kerbau yang Islami.
Akan tetapi Ammatowa merasa
bahwa ajaran ajaran Islam yang dibawa dari luwu itu belumlah sempurna, maka
sekali lagi Ammatowa mengutus seseorang bernama Towasara Daeng
Mallipa. Adapun daerah tujuannya adalah Bontoala, daerah Kerajaan Gowa. Setelah
mempelajari ajaran ajaran Islam di Gowa maka pulanglah dengan membawa ajaran
berupa :
1.
Kalimat Syahadat
2.
Upacara sunat atau bersunat yang lazim disebut
pengislaman.
3.
Katimboangtau atau upacara perkawinan
secara Islam.
4.
Bilangbangngi dan baca doang
rasulung atau upacara upacara kematian dan penguburan secara Islami.
Cuma
kesukarannya ialah kapankah mereka itu berangkat mempelajari agama Islam itu
serta kapan pula masuknya agama Islam di Butta Toa. Pasang yang
dianggap sebagai sumber dalam penulisan sejarah di Kajang, tidak menyebutkan
angka tahunyang jelas. Tetapi Noerduyn berkesimpulan bahwa daerah Kajang sudah
menganut Islam sejak permulaan abad XVII berdasarkan dengan datangnya Dato Ri
Bandang di pelabuhan Tallo dalam tahun 1605. Tetapi walaupun mereka ini sudah
resmi menganut agama Islam, mereka masih tetap melakukan kebiasaan-kebiasaannya
seperti adu ayam, attowana dan lain lainnya.
Lagi pula
masyarakat Butta Toa tidak melakukan sembahyang lima waktu, karena adanya salah
penafsiran. Ia beranggapan bahwa hubungan antara Turie Ara’na atau
Tuhan dengan Manusia tidak hanya dapat dilakukan pada waktu bersembahyang saja,
tetapi hubungan antara manusia dengan Tuhan setiap saat harus selalu ada. Maka
terkenallah pemahaman mereka sambayang tangngattappu je’ne
talluka ( sembahyang tak terputus dan wudhu tak pernah batal ). Jadi
ia merasa dirinya bersembahyang terus menerus. Anggapan yang demikian itu ada
karena seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang betentangan dengan kehendak
Tuhan. Bukan hanya pada saat melakukan sembahyang saja, tetapi di luar waktu
sembahyang pun. Hal inilah dalam keyakinan mereka yang harus dijaga jangan
sampai terjadi perbuatan yang menyimpang dari kehendak ajaran Tuhan. Artinya,
untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela maka seseorang itu harus
sembahyang terus menerus.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Asal-usul Patuntung
Adapun
beberapa mitos tentang manusia pertama, yaitu:
1. Mitos
pertama menyebutkan TuriE A’Ra’Na memerintahkan kepada batara guru untuk
melihat keadaan, setelah kembali melaporkan bahwa perlu ada manusia diatas
bumi, atas kehendak TuriE A’Ra’Na maka
diturunkanlah to manurung kebumi dengan mengendarai seekor burung berkepala dua
ang disebut koajang, inilah yang menjadi asal mula nama kajang.
2.
Mitos kedua menyebutkan kajang berasal dari kata kajang
bulaeng (atap perahu emas) yang diibawah oleh datuk Manila dari luwu
B. Pokok
Ajaran
Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya
kepada Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam
kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah
sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku
Kajang dalam segala aspek dan lika-liku kehidupan.
Ajaran
utama dari Patuntung mengajarkan bagi manusia yang ingin mendapatakan “sumber
kebenaran” atau sumber wahyu, maka manusia itu harus menyandarkan diri kepada
tiga pilar utama yaitu: hormat kepada Turiek Akrakna (Tuhan, Sang Penguasa),
menjaga tanah yang telah diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan
secara umum) dan juga menghormati nenek moyang (To Manurung atau
Ammatoa).
C. Perkembangan
Patuntung
Dalam
perkembangan Agama Islam di daerah Sulawesi Selatan maka daerah Kajang yang
salah satunya sudah mengenal Islam. Dato Tiro salah seorang penyebar Agama
Islam di Sulawesi Selatan pernah singgah di Kajang, kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Tiro dan akhirnya menetap di daerah ini . Tetapi dalam
perkembangan Agama Islam di Kajang setelah Dato Tiro sudah menetap di Tiro, Ammatowa mengirim
seorang utusan yang dianggap cerdas bernama Janggo to Jarre. Ia berangkat ke
Luwu untuk mempelajari agama Islam.
MAKALAH
PERKEMBANGAN
KEPERCAYAAN SULAWESI SELATAN
“Sejarah dan asal usul Patuntung”
Dosen Pembimbing:
Dr.
Hj. Aisyah, M.Ag
DISUSUN
OLEH:
HERIANA MUH.IRFAN
(30500116040) (30500116049)
LISDA HAMZAH FINIST
PANI J
(30500116005) (30500116048)
ADE FIRNANDA
(30500116004)
STUDI
AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2018
Comments
Post a Comment